Selasa, 11 Desember 2012



DAMAR

Sesuai dengan namaku
Memang pohonku menghasilkan damar Yang bernilai niaga tinggi
Sebagai ekspor Indonesia ke luar negeri
Nama ilmiahku Agathis dammara Termasuk suku Araucariaceae Pohonku cukup tinggi
Dengan diameter sekitar 170 senti
Sering juga aku disebut Agathis loranthifolia Tumbuhku di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi Menyebar ke Maluku dan Irian Jaya
Tumbuhku di hutan primer yang murni
Berat jenisku hanya 0,40 saja
Sehingga aku sering diawetkan dengan bahan kimia Tetapi lihatlah teras dan gubalku
Indah berwarna kuning muda
Jika kayuku telah dikeringkan Warnaku tampak coklat keemasan Ada juga yang coklat merah jambu
Sungguh indah di antara segala jenis kayu
Sebagai panil-panil di dalam rumah Aku memang indah
Sebagai finir dan rangka pintu Pilihlah aku
Sebagai kayu lapis
Aku sungguh tampak manis Sebagai alat olah raga
kayuku memang tak bercela
Dan sebagai bahan alat musik
Sebagai batang korek api
Aku balk sekali
Bagus juga sebagai potlot dan bahan kertas Apalagi untuk perabotan rumah tangga
Aku selalu dipuja!
Karya: Korrie Layun Rampan
(Pohon-pohon raksasa di rimba nusantara: kumpulan puisi anak-anak)


KEMARAU

Sungai-sungaiku kering
Melatiku layu
Dan rumput pun kecoklatan Bilakah engkau pergi?
Agar semua berseri kembali Sejak kehadiranmu
Ternak tak ada yang merumput Margasatwa enggan berdendang Dan debu jalanan
Menyesakkan nafas



MATAHARI SUDAH TUA

Waktu langit mulai suram
nelayan telah berhenti menjala
dan di pinggir kampung perempuan-perempuan dengan bayi dipangku
bercerita tentang raja-raja yang tumbang dan api gunung yang tidak lagi menyala
Pengembara asing yang terdampar di pulau bertanya: Dari mana kita berasal, ke mana bakal pergi?
Matahari sudah tua
Apa yang terjadi
jika is tenggelam ke laut dan tak terbit lagi?
Karya: Sastrowardoyo
(Dan Kematian Makin Akrab, Jakarta: Grasindo, 1995)



AKU

Kalau sampai waktuku
‘ku mau tak seorang ‘kan merayu Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang
Luka dan bisa kubawa berlari Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun lagi
Karya: Chairil Anwar
(Aku Ini Binatang Jalang [Pamusuk Eneste, Ed.], 0 Jakarta: Gramedia, 1986)


FAJAR

Membayang gilang langit di timur,
Kilat-kemilat caya berhambur,
Sinaran terang simbur-menyimbur,
Lenyap melayang udara kabur ….
Ituu gerangan fajar menjelma,
Surya raya turun ke dunia;
Girang-gemirang segala sukma,
Dihibur alam puspa warna.
Tapi … wahai … pondokku kelam,
Hari ‘fah pagi, serupa malam …. Tiada cahaya masuk ke dalam;
Entah karena dindingnya rapat,
Entahkan pintu terkunci erat,
Beta tak tahu, beta tak ingat ….

Karya: A. Hasjmy
(Pedoman Masjarakat Th. II, No. 20, 22 Juni 1936, hlm. 390)



Dan bukan karna,hujan,angin ataupun kemarau
Pada peta perjalanan masa jahiliyah…
Saat khilafah perjuangkan rakyat jelata
Dan bukan karna,asa,siksa,ataupun jera
Malaikat memjelma bagai seorang peminta

Pagi, yang menghujamkan seribu bahasa
Dimulai saat ejaan kata tak lagi mengisyaratkan wacana
Tercucur sudah darah-darah mengalir di kediaman angan
Menghela nafas…
Embun terasa di kulit tangan..
Menyelinap butiran-butiran harapan
Pandanganku hanya tertuju pada langit…
Tentang keteguhan,moral yang seakan dapat di bayar
Nadi ku seakan merasuk otakku
Teduh dalam kiasan..
Sendu dalam lamunan..
Embun itu merasuk hatiku…
Apakah ini…bukan sekedar narasi
Ataukah persepsi..
Dari asa yang tertinggal…
Dari hati yang berbekal…
Pagi itu..hanya aku yang tau..
Bunga mekar menakjubkan…
Angin riang menyanyikan..
Embun datang menyerukan
Karna aku masih ada di suatu pagi
Karna aku masih bisa bermimpi…